Pagi ini saya terbangun dengan perasaan yang
menyenangkan. Bagaimana tidak? Saya sudah ada di Toraja!
Sedikit
saya jelaskan, kata 'Toraja' berasal dari bahasa bugis yang berarti 'orang yang
berdiam di negeri atas', karena Toraja berada di pegunungan bagian utara
provinsi Sulawesi Selatan. Toraja sendiri tersebar menjadi tiga kabupaten yaitu
Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. Ketiga kabupaten tersebut ditinggali
oleh suku toraja yang mayoritas memeluk agama kristen. Bagi saya pribadi Toraja
adalah tempat di mana dulu saya hanya bisa melihat di televisi atau majalah,
dan berpikir aslinya seperti apa ya.. pasti unik dan keren! Bayangkan saja,
jenazah masyarakatnya dimakamkan dengan posisi 'terbuka' (bukan dimasukkan ke
dalam tanah ataupun kremasi). Belum lagi, masyarakat Toraja yang terbiasa
beraktivitas di sekitar makam-makam tersebut, seolah tidak ada apa-apa. Luar
biasa bagi saya yang tinggal di daerah ibu kota, saya terbiasa dengan tempat
pemakaman yang diletakkan di tempat yang tertutup. Pengalaman yang tidak akan
saya lupakan. Belum lagi kejutan-kejutan kecil yang diberikan Toraja kepada
saya dan teman-teman. Saya tidak sabar berbagi dengan kalian.. tanpa
berlama-lama, selamat jalan-jalan!
A
good day begins with a good food.
Rencana kegiatan hari ini adalah mengunjungi empat tempat khas Toraja, mampir ke
kedai kopi, dan kalau sempat juga menonton pawai. Karena di penginapan tidak
disediakan sarapan saya dan teman-teman melipir ke kedai nasi kuning terlebih
dahulu. Sarapan berat! Oh ya, karena mayoritas penduduk beragama kristen cukup
sulit menemukan tempat makan yang halal jadi pilih dengan hati-hati ya.
The
Ancient Village of Kete Kesu. Desa
Kete Kesu terletak di Kampung Bonoran, Toraja Utara. Yang unik dari Kete
Kesu adalah terdapat tongkonan asli yang hanya ada di sini. Tongkonan sendiri
adalah rumah adat masyarakat Toraja. Tongkonan dibagi berdasarkan tingkat atau
peran dalam masyarakat. Selain itu tongkonon dapat berfungsi sebagai tempat
tidur, dapur, menyimpan mayat, atau tempat duduk-duduk pada saat upacara
pemakaman. Kete Kesu sendiri dikelilingi dengan pegunungan, hamparan sawah, dan
barisan tongkonan yang usianya mencapai ratusan tahun. Di sini terdapat bukit
dan 'rumah' untuk meletakkan masyarakat Toraja yang sudah meninggal. Peraturan
adatnya adalah satu bukit untuk satu marga, dan satu rumah untuk satu keluarga.
Apabila di depan rumah atau peti terdapat foto, artinya orang tersebut
dituakan. Terdapat juga beberapa patung kayu atau replikasi jenazah masyarakat
Toraja, apabila ingin dibuatkan, keluarga yang ditinggalkan harus menyumbang 24
ekor kerbau (satu kerbau berharga ratusan juta) pada saat upacara pemakaman.
Boneka kayu atau replikasi jenazah sendiri disebut Tau-tau. Tau-tau yang
mengenakan pakaian berwarna putih artinya semasa hidup ia adalah bangsawan.
Londa
Burial Cave. Londa
adalah pemakaman dalam gua yang terletak di Desa Sandan Uai, Toraja Utara.
Pemakaman di sini sudah berusia ratusan tahun. Sesampai di pintu goa saya
disambut dengan sederet peti mati, tengkorak, dan Tau-tau. Terdengar
menyeramkan? Memang. Namun setelah memasuki goa dengan penerangan lampu
petromak malah terasa menakjubkan. Saya merasa melakukan perjalanan wisata
alam, budaya, dan mistis sekaligus. Sembari menelusuri goa, saya menemukan dua buah
tengkorak yang ditaruh berdampingan. Konon, mereka adalah sepasang kekasih yang
bunuh diri karena cinta keduanya tidak direstui orangtua. Beberapa tengkorak
dan tulang belulang berserakan di mulut gua maupun di dalam gua berasal dari
dalam peti yang sudah lapuk sehingga isinya keluar. Namun untuk menempatkan
kembali tengkorak dan teluang belulang tersebut harus diadakan upacara kematian
terlebih dahulu yang memakan banyak biaya. Di samping itu, ada kepercayaan
bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat perjalanan roh yang
meninggal menuju alam baka.
Tengkorak sepasang kekasih. |
Menelusuri goa dengan lampu petromak. |
Funeral
Stone Lemo. Lemo
adalah pemakaman di tebing batu yang terletak di Desa Lemo, Kabupaten Tana
Toraja. Tebing batu digali menjadi sebuah lubang yang dapat memuat satu
keluarga. Proses penggalian lubang dapat memakan waktu hingga satu tahun. Tiba
dilokasi saya harus turun dulu melewati jalan setapak bebatuan dengan
pemandangan hamparan sawah. Di ujung hamparan sawah itulah terdapat tebing
batu. Menyusuri satu persatu lubang-lubang di tebing batu terlihat beberapa
lubang memiliki pintu dan beberapa lubang tidak memilikinya sehingga terlihat
tulang belulang dari dalam. Terlihat juga deretan Tau-tau atau boneka kayu
representasi rakyat Toraja yang telah dimakamkan. Di sana terlihat tangan
kanan Tau-tau menghadap ke atas dan tangan kiri Tau-tau menghadap ke bawah. Hal
tersebut memiliki arti antara yang hidup dan yang mati. Masyarakat yang hidup
mengharapkan berkah dari yang mati untuk menyertai kehidupan mereka, sedangkan
masyarakat yang telah meninggal membutuhkan yang hidup untuk mencapai surga
melalui upacara adat. Setelah puas memanjakan rasa ingin tahu, saya kembali
menyusuri sawah dan melewati toko souvenir. Di sini saya dapat melihat proses
pembuatan Tau-tau. Selain itu, harga souvenir di sini juga relatif lebih murah.
The
tradition of burying babies in a tree. Wisata budaya dan alam yang terakhir saya kunjungi
adalah Baby Grave Kambira yang terletak di Kambira, Kabupaten Tana Toraja. Baby
Grave Kambira adalah tempat pemakaman bagi bayi yang berumur di bawah enam
bulan atau belum mempunyai gigi. Tempat pemakaman bayi di Toraja disebut
Passiliran. Tiba di lokasi, saya diajak berjalana kaki menuruni jalan setapak
memasuki hutan bambu yang rindah. Di tengah hutan bambu berdiri sebuah Pohon
Taraa. Nah, di sinilah bayi-bayi dimakamkan. Jenazah bayi dimasukkan ke dalam
Pohon Taraa dan ditutup dengan ijuk yang dibentuk kotak-kotak. Pohon Taraa
dipilih sebagai tempat pemakaman karena memiliki banyak getah, yang dianggap
dapat menggantikan ASI dan mengembalikannya ke rahim Ibu.
Baby Grave Kambira. |
A
lovely afternoon with Toraja's coffee pioneer. Belum puas rasanya mengekpolrasi
ragam tradisi, budaya, dan alam di Toraja, namun karena keterbatasan waktu saya
harus membungkam rasa penasaran saya untuk menggali lebih banyak. Di sore hari,
kami melepas lelah di Warung Kopi Toraja milik Bapak Sulaiman atau dikenal
dengan Bapak Eric, yang terletak di Rantepau Makale KM 3. Awalnya kami hanya
ingin bersantai sambil menikmati secangkir kopi hasil olahan Beliau. Namun tak
disangka dengan rendah hati Beliau bergabung di meja kami, berbagi pengetahuan
mengenai kopi, bercerita tentang nasib para petani kopi, dan menunjukkan cara
mengolah kopi. Pada umumnya jenis kopi terbagi dua yaitu arabica dan robusta.
Kopi arabica sifatnya rendah kafein, sedangkan kopi robusta tinggi kafein.
Menurut Beliau, banyak petani kopi toraja yang meninggalkan kebunnya, karena
harga kopi terlalu murah. Beliau melihat jauhnya perbedaan harga beli di petani
kopi dan harga jual di kafe. Akhirnya Beliau mendirikan Warung Kopi Toraja
sebagai tempat para petani kopi menunjukkan kopi mereka. Hingga kini Beliau
menjual kopi yang di ambil dari Desa Sapan dan Desa Awan. Lalu Beliau
mengolahnya dengan cara sangrai tradisonal, salah satunya teknik natural dengan
injak-injak. Kecintaan Beliau akan kopi sudah mendarah daging dari Kakek-Neneknya
asal Bugis yang berdagang kopi toraja pada tahun 1800an. Setelah saya mencicipi
kopi sapan dan kopi awan, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Tidak
ada cara yang benar atau salah dalam menikmati kopi, semua tergantung selera.
Seperti saya yang awalnya menyukai kopi sapan, namun setelah diberikan susu
steril saya lebih menyukai kopi awan. Setiap orang memiliki caranya sendiri
untuk menikmati secangkir kopi.
To be continued... #4
Semoga tulisan saya bermanfaat bagi yang membacanya.
Love, Irena Nova Wijaya.