Entah
kenapa saya ingin menuliskan tentang hubungan pribadi di sini.Tapi
rasanya terlalu berharga untuk saya lewatkan begitu saja. Maka dari itu saya ingin abadikan di media yang berharga (ya, blog ini berarti bagi saya!).
Alhamdulillah
setahun ini hubungan kami patut disyukuri karena membawa ketenangan dalam
hidup.
Sedikit
cerita, dulu kalau berbincang dengan teman-teman perempuan lalu ditanya “Mau
nikah kapan?” Ketika SMA saya bilang umur 24, ketika S1 bilang umur 30. Ketika
sudah lulus S1 tidak memikirkan menikah sama sekaliiii. Dipikiran saya menikah
itu ‘masih jauh’ dan bisa kapan-kapan. Dari dulu saya memandang
pernikahan bukan sebagai pencapaian. Pencapaian itu ya jenjang kuliah dan
karir. Tapi, ternyata Allah memberi rezeki menikah diumur 27 tahun kurang 28 hari
(haha sangat detail).
Jodoh
itu rezeki mati. Kenapa? karena pasangan yang akan menemani kita sampai akhir
hayat. Kita tinggal dengan orang tua setidaknya sampai usia 20+ sisanya
dihabiskan dengan pasangan. Nanti kalau punya anak, lalu anak sudah besar dan
berkeluarga, merekapun akan keluar rumah, tersisalah kita dengan pasangan.
Makanya pilihlah pasangan dengan bijak.
Singkat
cerita kenapa akhirnya saya tiba-tiba ingin menikah... Dia adalah teman saya dari
tahun 2011. Kami satu kampus, satu jurusan, dan satu kelas. Tahun 2017 saya
menceritakan masalah saya ke dia. Dia selalu mengingatkan ceritalah ke 'atas'
jangan ke dia. Saya yang tidak terbiasa berdoa sembari bercerita merasa aneh.
Di satu sisi saya merasakan penolakan dari dia. Ketika sudah tenang, saya
mencoba sarannya untuk bercerita ke Allah sehabis shalat. Kalimat yang saya
gunakan seperti saya bercerita ke orang lain. Tapi bedanya saya bercerita ke
Allah. Dari situ dia memberikan saya rekomendasi video-video kajian di
YouTube yang akhirnya sering saya dengarkan.
Tahun
2018 dia mengajak saya ke kajian. Pengalaman pertama datang ke kajian
cukup membekas dibenak saya. Akhirnya secara rutin saya datang ke kajian atau
mendengarkan kajian di YouTube. Setidaknya disempatkan 1 jam/minggu untuk
mendengar. Jika sedang datang ke kajian terkadang saya datang bersama teman,
kadang sendirian, pernah juga dengan dia lagi tapi jarang karena posisinya
bekerja. Setelah itu pandangan akan pernikahan jadi berubah. Dan saya
memutuskan ingin segera menikah.
Tentu
ada kekhawatiran. Apakah saya sudah siap? Apakah dia sudah siap? Bagaimana
kehidupan kami nanti? Di tengah-tengah kebingungan saya juga berdoa “ya Allah
saya ingin menikah dengan dia, karena saya merasa dia membukakan pintu untuk
saya untuk lebih mendekatkan diri kepadaMu” Ya, saya berdoa seperti itu. Karena
orang pertama yang memperkenalkan dan mengajak saya ke kajian adalah dia.
Sebagai
manusia yang tidak sempurna iman kami naik-turun. Kalau sudah begitu kembali tanya ke diri sendiri, “Kamu beriman karena sesama manusia atau karena Allah?”
Kalau karena sesama manusia iman kamu bisa ikut turun. Kalau karena Allah,
tidak. Malah bisa menjadi penguat agar saling meluruskan iman.
Ditengah-tengah
itu semua saya juga belum berani bicara dengan orangtua. Tapi orangtua sudah
kenal dengan dia karena beberapa kali datang ke rumah. Belum sempat berbicara,
tiba-tiba Ibu bertanya “Dengan dia bagaimana? Apakah serius?” Dalam hati saya
bahagia karena bagi saya ini adalah ‘lampu hijau’ dari orangtua. Di sini saya juga merasa ada campur tangan Allah yang membantu menggerakkan Ibu.
Karena
dia adalah teman lama jadi memang tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Komunikasi kami terbilang lancar. Saya terus terang bicara hubungan ini maunya
bagaimana lalu dicocokkan dengan keadaan dia.
Selain
itu kami juga banyak bertukar pikiran. Membicarakan tujuan pernikahan dan mau
rumah tangga yang seperti apa. Hal apa saja yang disukai dan tidak disukai dari
diri kita masing-masing. Oh ya kita juga saling tahu pendapatan masing-masing.
Dan pembicaraan lainnya yang kira-kira menurut kami penting untuk dibicarakan.
Saya
banyak merenung, seperti bertanya ke diri sendiri ‘Jika hidup saya sedang
terpuruk, apakah orang ini akan memperburuk atau membantu meningkatkan saya?’.
Jika saya terpuruk itu adalah tanggung jawab saya sendiri. Tapi dengan adanya
pasangan seharusnya menghadapi keterpurukan akan lebih ringan. Di sisi lain
saya juga bertanya ‘Jika saya mendapatkan kebahagiaan apakah saya rela berbagi
dengannya atau malah menyembunyikannya?’
Saya
juga merenungkan jika saya berhadapan dengan sifatnya seumur hidup (yang tidak
cocok) apakah saya bisa menerima? Karena saya tidak bisa mengharapkan orang
lain berubah setelah menikah. Kalaupun dia berubah ya karena dirinya sendiri
bukan karena saya. Jadi saya tidak bisa mengharapkan perubahan tersebut.
Akhirnya
sekitar awal 2019 dia datang ke orangtua untuk meminta saya jadi istrinya.
Setelah berdiskusi dengan kedua belah pihak orangtua menikahlah kami di 2
November 2019.
Dan
disinilah kami sekarang.. 1 tahun menikah. Kalau kata suami menikah 1 tahun ini
dia belajar mencintai. Karena banyak hal yang dia baru tahu tentang saya. Kalau
saya belajar bertoleransi. Karena terkadang pola pikir dia berbeda dengan saya.
Ya, menikah adalah proses belajar seumur hidup.
1
tahun ini saya juga mendapatkan insight baru kalau “jodoh adalah cerminan
diri”. Jika ingin pasangan baik. Ya lakukan kebaikan duluan, lakukan untuk
kebaikan diri sendiri. Karena kita akan mendapat apa yang kita tuai. Sama
dengannya kalau jomblo mau nyari pasangan yang baik hehe. Bukan pasangannya
duluan yang dicari. Tapi sayangi dan perbaiki diri dulu.
Yang
suka ditanya “Kapan nikah?” atau “Kapan punya anak?”. Menikah dan punya anak
bukan perlombaan. Itu adalah ibadah dan amanah dari Allah. Jadi luruskan dulu
niatnya lalu lakukan dengan ikhlas. Kalau kita lakukan itu karena tekanan
lingkungan / manusia, khawatir tidak menjadi amanah.
Sayapun
tidak luput dari kata-kata di atas. Ya.. karena kita tidak bisa mengontrol
orang lain jadi fokuslah dengan apa yang bisa kita kontrol yaitu pikiran kita sendiri.
Biasanya saya menjawab santai “iya” / “belum” / “bantu doa ya” tapi
kalau sudah berhadapan dengan orang yang banyak bertanya biasanya saya
‘seleksi’ dulu. Kalau ternyata orang tersebut peduli dan memberikan solusi
didengarkan saja siapa tahu memberikan insight. Tapi kalau ternyata hanya
‘kepo’ dan tidak peduli dengan kehidupan kita cukup jawab seperlunya dan
hindari.
Hehehe
jadi panjang juga tulisan ini. Intinya perjalanan 1 tahun ini patut disyukuri
dan diambil pelajarannya. Insha Allah saya siap menghadapi perjalanan rumah
tangga yang selanjutnya, amin. Untuk yang membaca tulisan ini sampai habis
kalian hebat! Semoga bisa mengambil pelajaran dari tulisan ini.
Semoga
tulisan saya memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Love,
Irena.