Wednesday, December 9, 2015

The Mystically Beautiful and Unique Makassar-Toraja Trip #4

Hari ini adalah hari terakhir saya di Toraja, di pagi hari saya akan langsung melakukan perjalanan kembali ke Makassar lalu ke Jakarta. Sedih rasanya, semoga dilain waktu saya mendapatkan kesempatan untuk kembali mengeksplorasi Toraja, Makassar, dan bagian-bagian lain di Sulawesi! Amin.

Eksotisme Gunung Nona. Pukul 06.40 WITA saya check out dari penginapan dan langsung menuju Gunung Nona untuk sarapan. Keluar dari penginapan wusss... terasa angin dan udara dingin menebus kulit. Di perjalanan juga tampak kabut putih di mana-mana. Tips: karena peralihan udara dingin di Toraja dan udara yang lebih panas di Makassar, ada baiknya mengkonsumsi vitamin C sebelum tiba di Makassar agara daya tahan tubuh terjaga. Gunung Nona atau dalam bahasa setempat adalah Buttu Kabobong yang berarti sesuatu yang disembunyikan. Bentuk Gunung Nona yang berlipat-lipat sering kali diasosiasikan dengan alat kelamin wanita. Bukit ini terbentuk dari proses yang cukup panjang dari batu pasir di dasar laut yang terangkat dari akibat tumbukan lempeng benua (Kompas.com, 2014). Nikmat sekali rasanya memandang eksotisme Gunung Nona sambil menyantap sarapan dan diakhiri dengan segelas kopi toraja. Aaah... tak perlu jauh-jauh ke Swiss untuk menikmati pegunungan indah! Rasanya saya siap berjam-jam di sini!



Selamat Datang Kembali di Makassar. Setelah menempuh perjalanan yang berkelok-kelok selama delapan jam (yap, jalur menuju Makassar naik-turun bukit entah berapa kali) tibalah saya kembali di Makassar. Waktu diperjalanan saya habiskan berbincang-bincang bersama Mureen & Milla, Kak Ayit (tour guide), dan molor hahaha. Sempat juga kami berhenti untuk menikmati pemandangan laut biru yang terbentang luas dengan bingkai langit cerah, sangat indah. Setiba di Makassar, ternyata masih ada waktu beberapa jam sebelum flight yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Baiklah, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk wisata kuliner dan berbelanja oleh-oleh.



Menyantap Makan Siang di Warung Coto Nusantara. Jarum jam sudah menunjukan bahwa waktu sudah menjelang sore. Cacing-cacing di perut sudah meronta-ronta diberi makan. Kamipun melepas lapar di Warung Coto Nusantara di Jl Nusantara. Semangkuk coto dihidangkan dengan taburan daun bawang dan seledri di atasnya. Pertama-tama tercium aroma tauco yang kuat, setelah dicicipi terasa rasa gurih kacang tanah, pedas merica, dan asam jeruk nipis. Belum lagi irisan-irisan daging sapinya yang empuk. Aaah sedap sekali! Oh ya, semangkuk coto biasa disantap dengan ketupat.

Sudah Kenyang? Sudah! Masih Ingin Makan? Masih.. Seperti kutipan kekinian yang mengatakan "There's always room for dessert." Karena sudah puas dengan makanan berat kamipun mampir di Rumah Makan Bravo di Jl Andalas 154 untuk menyantap dessert. Dessert khas Makassar? Sudah pasti es pisang ijo! Paduan dingin antara susu, sirup, bubur sumsum, dan pisang lapis dadar terasa menyegarkan di mulut. Porsinya pun pas dan mengenyangkan. Sudah? Belum.. hahaha. Selanjutnya kami memesan es pallu butung. Tidak jauh berbeda, es ini membuat mulut dan kerongkongan saya bersorak gembira hahaha. Rasanya manis menyegarkan. Bedanya es pallu butung menggunakan pisang kukus yang dipotong-potong tanpa lapisan dadar.

Sampai Jumpa Kembali. Akhirnya waktu flight menuju Jakarta sudah semakin dekat. Setelah membeli oleh-oleh kamipun berkendara menuju Bandara Sultan Hasanudin. Rasanya sedih, belum puas, dan terbesit keinginan satu bulan berada di Sulawesi untuk mengekplorasi lebih banyak lagi. Mungkin sekarang belum saatnya, mungkin nanti. Amin. Di akhir kata yang dapat saya katakan adalah, terima kasih Makassar-Toraja yang sudah memberikan saya pengalaman baru semoga dilain waktu kita dapat berjodoh kembali. Bye!


Semoga tulisan saya bermanfaat bagi yang membacanya.
Love, Irena Nova Wijaya

Friday, November 13, 2015

The Mystically Beautiful and Unique Makassar-Toraja Trip #3


Pagi ini saya terbangun dengan perasaan yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Saya sudah ada di Toraja!  

Sedikit saya jelaskan, kata 'Toraja' berasal dari bahasa bugis yang berarti 'orang yang berdiam di negeri atas', karena Toraja berada di pegunungan bagian utara provinsi Sulawesi Selatan. Toraja sendiri tersebar menjadi tiga kabupaten yaitu Tana Toraja, Toraja Utara, dan Mamasa. Ketiga kabupaten tersebut ditinggali oleh suku toraja yang mayoritas memeluk agama kristen. Bagi saya pribadi Toraja adalah tempat di mana dulu saya hanya bisa melihat di televisi atau majalah, dan berpikir aslinya seperti apa ya.. pasti unik dan keren! Bayangkan saja, jenazah masyarakatnya dimakamkan dengan posisi 'terbuka' (bukan dimasukkan ke dalam tanah ataupun kremasi). Belum lagi, masyarakat Toraja yang terbiasa beraktivitas di sekitar makam-makam tersebut, seolah tidak ada apa-apa. Luar biasa bagi saya yang tinggal di daerah ibu kota, saya terbiasa dengan tempat pemakaman yang diletakkan di tempat yang tertutup. Pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Belum lagi kejutan-kejutan kecil yang diberikan Toraja kepada saya dan teman-teman. Saya tidak sabar berbagi dengan kalian.. tanpa berlama-lama, selamat jalan-jalan!

A good day begins with a good food. Rencana kegiatan hari ini adalah mengunjungi empat tempat khas Toraja, mampir ke kedai kopi, dan kalau sempat juga menonton pawai. Karena di penginapan tidak disediakan sarapan saya dan teman-teman melipir ke kedai nasi kuning terlebih dahulu. Sarapan berat! Oh ya, karena mayoritas penduduk beragama kristen cukup sulit menemukan tempat makan yang halal jadi pilih dengan hati-hati ya.

The Ancient Village of Kete Kesu. Desa Kete Kesu terletak di Kampung Bonoran, Toraja Utara. Yang unik dari Kete Kesu adalah terdapat tongkonan asli yang hanya ada di sini. Tongkonan sendiri adalah rumah adat masyarakat Toraja. Tongkonan dibagi berdasarkan tingkat atau peran dalam masyarakat. Selain itu tongkonon dapat berfungsi sebagai tempat tidur, dapur, menyimpan mayat, atau tempat duduk-duduk pada saat upacara pemakaman. Kete Kesu sendiri dikelilingi dengan pegunungan, hamparan sawah, dan barisan tongkonan yang usianya mencapai ratusan tahun. Di sini terdapat bukit dan 'rumah' untuk meletakkan masyarakat Toraja yang sudah meninggal. Peraturan adatnya adalah satu bukit untuk satu marga, dan satu rumah untuk satu keluarga. Apabila di depan rumah atau peti terdapat foto, artinya orang tersebut dituakan. Terdapat juga beberapa patung kayu atau replikasi jenazah masyarakat Toraja, apabila ingin dibuatkan, keluarga yang ditinggalkan harus menyumbang 24 ekor kerbau (satu kerbau berharga ratusan juta) pada saat upacara pemakaman. Boneka kayu atau replikasi jenazah sendiri disebut Tau-tau. Tau-tau yang mengenakan pakaian berwarna putih artinya semasa hidup ia adalah bangsawan.



Tongkonan.
24 tanduk kerbau.




Tulang belulang.



Londa Burial Cave. Londa adalah pemakaman dalam gua yang terletak di Desa Sandan Uai, Toraja Utara. Pemakaman di sini sudah berusia ratusan tahun. Sesampai di pintu goa saya disambut dengan sederet peti mati, tengkorak, dan Tau-tau. Terdengar menyeramkan? Memang. Namun setelah memasuki goa dengan penerangan lampu petromak malah terasa menakjubkan. Saya merasa melakukan perjalanan wisata alam, budaya, dan mistis sekaligus. Sembari menelusuri goa, saya menemukan dua buah tengkorak yang ditaruh berdampingan. Konon, mereka adalah sepasang kekasih yang bunuh diri karena cinta keduanya tidak direstui orangtua. Beberapa tengkorak dan tulang belulang berserakan di mulut gua maupun di dalam gua berasal dari dalam peti yang sudah lapuk sehingga isinya keluar. Namun untuk menempatkan kembali tengkorak dan teluang belulang tersebut harus diadakan upacara kematian terlebih dahulu yang memakan banyak biaya. Di samping itu, ada kepercayaan bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat perjalanan roh yang meninggal menuju alam baka.

Tengkorak sepasang kekasih.
Menelusuri goa dengan lampu petromak.



Funeral Stone Lemo. Lemo adalah pemakaman di tebing batu yang terletak di Desa Lemo, Kabupaten Tana Toraja. Tebing batu digali menjadi sebuah lubang yang dapat memuat satu keluarga. Proses penggalian lubang dapat memakan waktu hingga satu tahun. Tiba dilokasi saya harus turun dulu melewati jalan setapak bebatuan dengan pemandangan hamparan sawah. Di ujung hamparan sawah itulah terdapat tebing batu. Menyusuri satu persatu lubang-lubang di tebing batu terlihat beberapa lubang memiliki pintu dan beberapa lubang tidak memilikinya sehingga terlihat tulang belulang dari dalam. Terlihat juga deretan Tau-tau atau boneka kayu representasi rakyat Toraja yang telah dimakamkan.  Di sana terlihat tangan kanan Tau-tau menghadap ke atas dan tangan kiri Tau-tau menghadap ke bawah. Hal tersebut memiliki arti antara yang hidup dan yang mati. Masyarakat yang hidup mengharapkan berkah dari yang mati untuk menyertai kehidupan mereka, sedangkan masyarakat yang telah meninggal membutuhkan yang hidup untuk mencapai surga melalui upacara adat. Setelah puas memanjakan rasa ingin tahu, saya kembali menyusuri sawah dan melewati toko souvenir. Di sini saya dapat melihat proses pembuatan Tau-tau. Selain itu, harga souvenir di sini juga relatif lebih murah.






The tradition of burying babies in a tree. Wisata budaya dan alam yang terakhir saya kunjungi adalah Baby Grave Kambira yang terletak di Kambira, Kabupaten Tana Toraja. Baby Grave Kambira adalah tempat pemakaman bagi bayi yang berumur di bawah enam bulan atau belum mempunyai gigi. Tempat pemakaman bayi di Toraja disebut Passiliran. Tiba di lokasi, saya diajak berjalana kaki menuruni jalan setapak memasuki hutan bambu yang rindah. Di tengah hutan bambu berdiri sebuah Pohon Taraa. Nah, di sinilah bayi-bayi dimakamkan. Jenazah bayi dimasukkan ke dalam Pohon Taraa dan ditutup dengan ijuk yang dibentuk kotak-kotak. Pohon Taraa dipilih sebagai tempat pemakaman karena memiliki banyak getah, yang dianggap dapat menggantikan ASI dan mengembalikannya ke rahim Ibu.


Baby Grave Kambira.



A lovely afternoon with Toraja's coffee pioneer. Belum puas rasanya mengekpolrasi ragam tradisi, budaya, dan alam di Toraja, namun karena keterbatasan waktu saya harus membungkam rasa penasaran saya untuk menggali lebih banyak. Di sore hari, kami melepas lelah di Warung Kopi Toraja milik Bapak Sulaiman atau dikenal dengan Bapak Eric, yang terletak di Rantepau Makale KM 3. Awalnya kami hanya ingin bersantai sambil menikmati secangkir kopi hasil olahan Beliau. Namun tak disangka dengan rendah hati Beliau bergabung di meja kami, berbagi pengetahuan mengenai kopi, bercerita tentang nasib para petani kopi, dan menunjukkan cara mengolah kopi. Pada umumnya jenis kopi terbagi dua yaitu arabica dan robusta. Kopi arabica sifatnya rendah kafein, sedangkan kopi robusta tinggi kafein. Menurut Beliau, banyak petani kopi toraja yang meninggalkan kebunnya, karena harga kopi terlalu murah. Beliau melihat jauhnya perbedaan harga beli di petani kopi dan harga jual di kafe. Akhirnya Beliau mendirikan Warung Kopi Toraja sebagai tempat para petani kopi menunjukkan kopi mereka. Hingga kini Beliau menjual kopi yang di ambil dari Desa Sapan dan Desa Awan. Lalu Beliau mengolahnya dengan cara sangrai tradisonal, salah satunya teknik natural dengan injak-injak. Kecintaan Beliau akan kopi sudah mendarah daging dari Kakek-Neneknya asal Bugis yang berdagang kopi toraja pada tahun 1800an. Setelah saya mencicipi kopi sapan dan kopi awan, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Tidak ada cara yang benar atau salah dalam menikmati kopi, semua tergantung selera. Seperti saya yang awalnya menyukai kopi sapan, namun setelah diberikan susu steril saya lebih menyukai kopi awan. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menikmati secangkir kopi.








To be continued... #4


Semoga tulisan saya bermanfaat bagi yang membacanya.
Love, Irena Nova Wijaya.