Sunday, March 20, 2016

Merayakan Tanggal Merah dengan Berwisata di Tangerang

Selamat tahun baru imlek 2567 bagi yang merayakan! Semoga di tahun monyet api ini kita semua mendapat rejeki dan nasib baik yang berkepanjangan.

Secara pribadi saya tidak merayakan imlek, soalnya saya tidak ada darah keturunan etnis cinanya hehehe. Namun karena hari ini adalah tanggal merah untuk semua rakyat Indonesia dan hari spesial untuk beberapa rakyat Indonesia, mari kita ikut berbahagia dan rayakan! Kali ini tujuan saya adalah Masjid Nurul Yaqin atau biasa dikenal dengan sebutan Masjid Pintu Seribu dan Taman Buaya Tanjung Pasir.

Masjid Pintu Seribu
Saya memulai perjalanan di Stasiun Rawa Buntu pukul 10.00. Berbekal Google Maps, dengan memasuki lorong-lorong perumahan sempit yang hanya dapat dilalui motor/sepeda tibalah saya di Masjid Pintu Seribu pukul 11.00. Bagi yang menggunakan mobil ada lahan parkir khusus namun Anda harus berjalan kaki beberapa ratus meter. Secara kasat mata bangunan ini seperti bangunan yang tidak dihuni ratusan tahun namun di satu sisi masih ada pembangunan untuk beberapa bangunan masjid. Pertama kali melihatpun Masjid ini memang banyak sekali pintu dan jendelanya jadi saya bingung masuknya dari mana hahaha.  Akhirnya saya memasuki pintu yang paling besar di sisi kanan masjid yang terdapat tulisan "Selamat Datang." Saya diminta untuk menulis biodata dan memberikan infaq seikhlasnya. Setelah masuk corak-corak dinding, warna cat, dan tulisan kaligrafi arab sangat berwarna-warni. Ada beberapa ruang sholat yang unik, di mana biasanya ruang sholat berbentuk aula. Kalau di sini seperti sebesar kamar yang dapat menampung sekitar 10 orang. Saya terus berjalan mengikuti arus pengunjung, sampailah pada pintu di mana pengunjung dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu dan menanggalkan alas kaki. Saya pikir ada apa di dalam sana? Kenapa ramai sekali? Akhirnya saya memilih berwudhu dan memasuki ruangan tersebut. Ternyata di sana terdapat makam keramat Syekh Ami Alfaqir, Mahdi Hasan Alqudrotillah, dan Almuqqodam. Beliau-beliau adalah pendiri Masjid Pintu Seribu yang sudah dibangun dari tahun 1978. Karena tujuan perjalanan saya adalah mengekplorasi saya tidak memiliki persiapan berdoa, oleh sebab itu saya berusaha mengikuti kelompok pengunjung yang sedang melafalkan surat-surat. Kelompok pengunjung saat itu didominasi dengan ibu-ibu pengajian, pemuda-pemuda dari pesantren, dan keluarga yang ingin berziarah. Ternyata jalur di bangunan masjid sisi kanan hanya sampai Makam Keramat dan saya keluar menggunakan jalur yang sama.

Karena saya merasa kurang puas akhirnya saya berjalan-jalan mengelilingi bagian luar masjid. Terdapat lorong unik pemisah bagian masjid sisi sebelah kiri dan kanan sepanjang 100 meter, disepanjang lorong terdapat jendela-jendela dan ukiran-ukiran unik. Lalu saya pindah mengitari bangunan masjid sebelah kiri secara keseluruhan bangunannya seperti benteng, ada jendela dan pintu di mana-mana. 

Pintu masuk Masjid Pintu 1000 disebelah kiri digembok, awaknya saya pikir akan dibuka pada waktu jam sholat saja. Lalu masuklah seorang guide dan rombongan pemuda-pemuda pesantren, sayapun ikut nimbrung dibelakangnya hehehe. Dan... yang benar saja! Saya pikir isinya seperti tempat beribadah pada umumnya, ternyata gelap gulita.. segelap-gelapnya! Yang menjadi penerang hanyalah senter atau cahaya handphone. Kalau sudah pernah ke goa jepang/belanda di Bandung, wah itu ga ada apa-apanya dibandingkan kegelapan di sini. Banyak sekali lorong-lorong di sisi kiri dan kanan, tanpa guide tentu saja bisa tersesat. Bentuknya seperti labirin yang gelap total. Hawanya dingin dan membuat bulu kuduk saya merinding. 

Tibalah kami diruangan yang lebih besar dan diminta duduk oleh guide, ketika saya melihat ke depan, "Wah ada makam!" aduh.. apalagi ini.. nyali saya mulai menciut. Bapak guide pun memberikan instruksi "Ini adalah ruang dzikir, nanti kalau saya matikan lampu, jangan ada yang nyalakan cahaya ya." Dan seketika itu juga, sang guide mematikan senternya! Pikiran saya langsung berkelana dengan liar, kalau tiba-tiba ada ular atau bintang liar gimana? kalau ada yang kesurupan gimana? kalau ada hal-hal mistis tak terduga gimana? Disamping itu, sang guide sudah mulai berceramah mengenai dunia hidup dan mati. Intinya, kita dilahirkan dan akan dikubur seorang diri, maka dari itu ada baiknya selalu berbuat baik dan menyerahkan kepada Tuhan Y. M. E. Sama seperti keadaan kami di dalam itu, kita tidak bisa melihat apa-apa yang ada hanyalah kegelapan, kami hanya dapat meminta tolong kepada Tuhan Y. M. E. Setelah 15 menit ceramahpun berakhir dan bapak guide langsung menyalakan senternya. "Aah terimakasih." gumam saya. Kamipun kembali dituntun ke menuju pintu keluar yang sama dengan pintu masuk. Pesan: jangan coba-coba masuk sendiri kecuali memang niat tersesat.







Taman Buaya Tanjung Pasir
Setelah pengalaman yang cukup unik di Masjid Pintu 1000 saya kembali berkendara menuju Taman Buaya Tanjung Pasir. Kira-kira setelah 30 menit mengggunakan sepeda motor saya sudah sampai dilokasi. Tidak sulit menemukannya, ada patung buaya yang cukup besar disebelah kanan jalan. Dari gerbang utama hingga penangkaran berjarak sekitar 300m. Terlihat banyak rumput liar, cat dinding terkelupas, dan bangunan tak terpakai. Sayang, sepertinya tempat wisata ini kurang terawat padahal tempat ini memiliki potensi yang cukup dan edukatif.

Di Taman Buaya Tanjung Pasir setidaknya terdapat 500 buaya yang dibagi manjadi tiga kandang  besar (untuk buaya dewasa) dan beberapa kandang kecil (untuk buaya anak-anak). Tiba-tiba saya bergidik membayangkan rasanya kalau kandang-kandang itu jebol semua, hiiiy! Di sini juga dijual telur buaya, tapi hanya ada dibulan Desember harganya 200.000/telur berkhasiat untuk yang lemah syahwat. Pada bulan-bulan tertentu juga di jual gigi buaya berkisar 200.000-500.000/gigi. Oh ya kalau berani memberi makan buaya, di sini juga bisa memberi makan buaya, disediakan satu ember bangkai ayam harganya 50.000/ember.

Setelah lelah keliling kandang saya memilih duduk di saung yang memang disediakan untuk beristirahat. Di sana saya bertemu dengan Pak Mamat, beliau adalah penjaga penangkaran buaya. Dari beliau saya tahu bahwa buaya tidak memakan daging segar melainkan bangkai. Buaya menggigit leher mangsanya hingga lemas dan mati, lalu ditunggu hingga busuk baru dimakan. Beliau juga berkata, buaya di penangkaran tidak senang berlari-lari, apabila sudah masuk air atau di atas tanah akan lama diamnya. Beliaupun mengajak saya untuk masuk ke dalam kandang buaya. Hahahaha awalnya sih ragu, tapi karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya saya memberanikan diri. Sayapun berfoto dengan "Raja Buaya" yang usianya 64 tahun, yang katanya kalau buaya ini sudah masuk ke dalam air, buaya-buaya yang lain pada keluar karena takut. Tips dari Pak Mamat: kalau menghadapi buaya lebih aman dari depan atau dari buntut, apabila dari samping lebih berbahaya karena dapat disambit buntutnya.

Pak Mamat yang baik ini juga menawarkan untuk melihat gigi buaya. Awalnya saya bingung dan hanya menjawab, "ya boleh pak." Lalu.. Beliau mengambil sebilah batang yang panjang dan memukul tanah dengan kencang di dekat wajah buaya yang sedang diam. "AUUM!" buayapun mengeluarkan bunyi nyaring dan membuka mulutnya. Seketika itu juga saya terloncat dan mundur selangkah menuju pintu kandang. Bayangkan saja, saya di dalam kandang yang penuh dengan buaya walaupun saya masih berdiri di dekat pintu kandang. Sepersekian detik kemudian buaya ini tidak juga berkutik dan kembali menutup mulutnya secara perlahan. Huuuft...







Di akhir cerita, Mesjid Pintu 1000 maupun Taman Buaya Tanjung Pasir memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Namun ada baiknya dilakukan perbaikan sarana, peningkatan kebersihan, promosi oleh pihak daerah, dan adanya kesadaran dari masyarakat sekitar untuk terus melestarikan dan menjaga.

Semoga tulisan saya bermanfaat bagi yang membacanya,
Love, Irena Nova Wijaya.